Senin, 04 April 2011

KAJI ULANG PERAN KOPRASI DALAM MENUNJANG KETAHANAN PANGAN DI SEKTOR PERTANIAN

Pendahuluan
Di sektor pertanian peranserta koperasi di masa lalu cukup efektif untuk mendorong peningkatan produksi khususnya di subsektor pangan. Selama era tahun 1980-an, koperasi terutama KUD mampu memposisikan diri sebagai embaga yang diperhitungkan dalam program pengadaan pangan nasional. Sementara itu, di dalam negeri telah terjadi berbagai perubahan seiring dengan berlangsungnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan kondisi tersebut membawa konsekuensi serius dalam hal pengadaan bahan pangan. Secara konseptual liberalisasi ekonomi dengan menyerahkan kendali orda perekonomian kepada mekanisme pasar ternyata dalam prakteknya belum tentu secara otomatis berpihak kepada komunitas ekonomi lemah atau kecil. Di sektor pangan, semula peran Bulog sangat dominan dalam pengadaan pangan dan penyangga harga dasar, tetapi sekarang setelah tiadanya paket skim kredit pengadaan pangan melalui koperasi dan dihapuskannya skim kredit pupuk bersubsidi maka pengadaan pangan hampir sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Akibatnya peran koperasi dalam pembangunan pertanian dan ketahanan pangan semakin tidak berarti lagi. Bahkan sulit dibantah apabila terdapat pengamat yang menyatakan bahwa pemerintah tidak lagi memiliki konsep dan program pembangunan koperasi yang secara jelas memposisikan koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional.

Perubahan kebijakan pemerintah dalam distribusi pupuk dan pengadaan beras memberikan dampak serius bagi ketahanan pangan nasional. Kini, kebijakan dalam ketahanan pangan telah berubah menjadi Kepmen Perindag Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 dimana pemerintah membebaskan penyaluran pupuk dilakukan baik oleh swasta maupun koperasi/KUD. Dampak perubahan kebijakan ini adalah terjadinya kelangkaan persediaan pupuk bagi petani, harga pupuk lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), kecenderungan monopoli penyaluran pupuk oleh swasta, yang dengan sendirinya peran koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk menurun. Penurunan peran koperasi terlihat dari hanya 40 % atau 930 unit dari 2.335 KUD (saat koperasi/KUD memiliki kewenangan penuh) terlibat dalam tataniaga pupuk. Dalam kenyataannya jumlah inipun sulit teridentifikasi.
koperasi untuk pembiayaan usaha pembelian dan pemasaran pangan. Juga sesuai Inpres Nomor 9 tahun 2001 dan Inpres Nomor 9 tahun 2002 tentang kebijakan perberasan, maka koperasi tidak berfungsi lagi sebagai pelaksana tunggal pembelian gabah, tidak ada lagi kebijakan harga dasar di tingkat petani, dan harga dasar pembelian gabah/beras petani hanya ditetapkan oleh Bulog. Disini terdapat dua konsekuensi penting yaitu petani harus memasuki mekanisme pasar, dan mereka harus menjamin kualitas gabah/beras yang ditetapkan Perum Bulog. Petani diduga memiliki bargaining position yang lemah dan karena itu akan sangat merugikan mereka dalam hal stabilitas produksinya, tingkat pendapatannya, dan harga yang wajar diterima terutama pada waktu panen raya.
Berdasarkan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan berdasarkan
perubahan kebijakan pemerintah terhadap distribusi pupuk dan beras, (2) Menganalisis efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras sesuai perubahan kebijakan pemerintah dimaksud, (3) Menganalisis dampak perubahan kebijakan tersebut terhadap penyediaan gabah/beras di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam menunjang ketahanan pangan, dan (4) Merumuskan model alternatif yang dapat diimplementasikan oleh koperasi guna mendukung ketahanan pangan nasional.

Peran koprasi dalam menunjang
ketahanan pengan
Koperasi sejak lama telah menjadi badan usaha yang strategis dalammeningkatkan ekonomi anggotanya maupun masyarakat pada umumnya. Namun, kini setelah terjadi perubahan kebijakan-kebijakan tentang pangan, maka koperasi / KUD praktis tidak beperan lagi secara maksimal. Perubahan kebijakan tersebut menyebabkan terjadi kelangkaan pupuk
pada petani, harga pupuk lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), terjadi monopoli penyaluran pupuk oleh swasta yang menyebabkan koperasi/KUD nyaris tidak berperan lagi dalam penyaluran pupuk. Dalam pengadaan pangan, peran koperasi menurun drastis akibat fasilitasfasilitas penunjang seperti gudang, lantai jemur, RMU, dan lain-lain tidak lagi beroperasi maksimal atau menganggur. Semua dampak ini melemahkan kemampuan ketahanan pangan di dalam negeri.
Beberapa faktor yang melemahkan kemampuan tersebut adalah monopoli penyaluran pupuk oleh swasta, pengalihan dan ekspor pupuk ke perusahaan besar dan ke luar negeri, harga jual gabah yang berfluktuasi, produksi dan kapasitas produksi beras koperasi yang menurun akibat peralatan pendukung yang beroperasi di bawah kapasitas normal. Kebijakan yang dapat diterapkan adalah memerankan koperasi secara penuh baik pada penyaluran pupuk maupun pada pengadaan pangan/beras. Perlu peningkatan kredit atau modal kepada koperasi untuk pembelian gabah dan peningkatan kapasitas prasarana dan sarana produksi beras koperasi.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
distribusi dan Pengadaan pangan
(Beras)
Berdasarkan analisis, ditemukan beberapa faktor yang berpengaruh menurunkan kemampuan penyediaan pupuk pada koperasi adalah (1) kuota penyaluran pupuk koperasi yang hanya sekitar 30 %, (2) monopoli penyaluran pupuk oleh swasta, (3) kelangkaan pupuk yang disebabkan oleh ekspor pupuk illegal ke luar negeri, pengalihan penjulan pupuk ke perusahaan perkebunan besar atau dihilangkan untuk tujuan tertentu sehingga menyulitkan koperasi menyediiakan pupuk dalam jumlah yang memadai bagi petani, (4) jumlah permintaan pupuk petani khususnya di Pulau Jawa yang terus meningkat, (5) harga pupuk yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) menciptakan kendala pembiayaan bagi koperasi untuk mensuplai pupuk kepada petani. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan koperasi dalam pengadaan pangan/beras adalah :  (1) jumlah produksi dan penjualan gabah petani yang menurun akibat penggunaan pupuk di bawah kebutuhan normal, (2) harga jual gabah yang berfluktuasi, (3) jumlah pembelian gabah koperasi yangmenurun akibat permodalan yang terbatas, (4) produksi dan kapasitas produksi beras koperasi yang menurun akibat peralatan pendukung yang beroperasi di bawah kapasitas normal (menganggur), dan (5) kapasitas prasarana dan sarana produksi beras koperasi seperti RMU, gudang dan lantai jemur, peralatan penunjang lainnya yang telah mengalami penurunan fisik karena tidak beroperasi secara normal atau tidak terpakai.

A. Evaluasi Efektifitas Kebijakan
(Pupuk)
Hasil simulasi pada masing-masing propinsi sampel dapat dilihat pada Tabel 1. Jika peran swasta dalam kebijakan pupuk ditingkatkan 25 % akan berdampak meningkatkan pengadaan pupuk level  propinsi dan kabupaten pada semua propinsi sampel. Akan tetapi kenaikan peran swasta tersebut memberikan dampak negatif terhadap pengadaan beras koperasi yakni menurunkan jumlah pembelian gabah koperasi, juga menurunkan jumlah produksi beras dan kapasitas produksi beras koperasi pada semua propinsi sampel. Dampak negative juga ditimbulkan pada kinerja koperasi semua propinsi sampel yakni menurunkan volume usaha, SHU dan indikator-indikator produktivitas koperasi Dampak yang ditimbulkan pada petani adalah merugikan para petani anggota koperasi semua propinsi sampel kecuali Jawa Tengah. Kerugian yang dialami petani disini adalah dalam hal penurunan penggunaan pupuk, penurunan jumlah produksi gabah, penurunan jumlah penjualan gabah dan tingkat pendapatan petani. Dampak kerugian yang sama juga terjadi bagi petani non-anggota koperasi khsusnya pada Propinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan hasil simulasi tersebut dapat dilihat bahwa kebijakan distribusi pupuk yang lebih memerankan pihak swasta secara parmanen merugikan para pelaku utama produsen beras yakni petani dan pihak koperasi di dalam pengadaan pangan/beras. Karena itu dapat dikatakan bahwa kebijakan distribusi pupuk yang ada sekarang tidak efektif mencapai tujuannya yakni untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
B. Evaluasi Efektifitas Kebijakan
(Beras)
Hasil simulasi skenario kebijakan beras pada masing-masing propinsi sampel dapat dilihat pada Tabel 2. Ketika kebijakan perberasan berubah dimana koperasi tidak lagi diberikan tanggung jawab penuh dalam pengadaan pangan dan tidak ada lagi kredit untuk pengadaan pangan, koperasi mengalami penurunan dalam pembelian gabah. Penurunan ini disebabkan oleh kendala permodalan koperasi yang lemah maupun pengurangan kegiatan pengadaan pangan pada sebagian koperasi. Penurunan pembelian gabah koperasi berdampak menurunkan produksi beras koperasi pada semua propinsi sampel antara 11.82 % hingga 30.72 %. Juga kapasitas produksi beras koperasi pada semua propinsi sample mengalami penurunan antara 5.87 % hingga 45.93 %.
Dampak dia atas menunjukkan bahwa koperasi telah mengalami penurunan signifikan dalam produksi maupun kapasitas produksi berasnya. Secara nasional, kemampuan dalam negeri untuk menciptakan ketahanan pangan sesungguhnya terbangun oleh semua komponen pelaku produksi pangan nasional. Dalam hal ini produksi dan kapasitas produksi pagan/beras koperasi yang sebelumnya telah terbangun adalah bagian dari kapasitas produksi pangan nasional yang telah ada. Karena itu penurunan sebagian kapasitas pangan nasional yang telah ada merupakan suatu penurunan kemampuan ketahanan pangan secara terstruktur di dalam negeri. Pada sisi lain koperasi mewadahi sebagian besar petani dimana koperasi menjadi pasar bagi gabah para petani. Karena itu penurunan pembelian gabah koperasi menciptakan kesulitan pasar bagi para petani. Hasil penelitian lapang menunjukkan sebagian petani menempuh cara tebas dalam menjual gabahnya yaitu gabah dijual kepada tengkulak dalam keadaan masih sebagai tanaman padi di sawah. Cara ini ditempuh untuk menghindari biaya panen yang cukup besar maupun karena alasan-alasan lainnya. Jika harga gabah terus berfluktuasi dan petani tidak menjamin kualitas gabahnya maka posisi tawar mereka tetap lemah yang berarti petani akan tetap mengalami kerugian. Hasil survei lapangan menunjukkan petani tidak menjual gabahnya kepada Perum Bulog setempat. Karena itu petani akan tetap menghadapi para tengkulak dengan posisi tawar yang lemah. Berdasarkan hasil simulasi dan pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa kebijakan perberasan yang ada sekarang tidak efektif meningkatkan kapasitas produksi beras nasional. Sebaliknya kebijakan tersebut mengurangi sebagian kapasitas produksi beras yang telah dimiliki koperasi sebelumnya.

Dampak Kebijakan Alternatif Untuk
Mendukung Koperasi Dalam
Menunjang Ketahanan Pangan
Untuk pemecahan masalah penyaluran pupuk dan pengadaan beras secara menyeluruh dilakukan simulasi terhadap lima skenario alternatif. Masingmasing (1) Kenaikan harga pupuk level petani 5 % dan kenaikan harga gabah 10 %; (2) Kenaikan penggunaan pupuk petani sebesar 25 %, kenaikan harga gabah dan jumlah pembelian gabah koperasi masing-masing sebesar 10 %; (3) Penurunan penggunaan pupuk petani dan harga gabah sebesar 10 %; (4) Kenaikan kapasitas prasarana dan sarana produksi beras koperasi : RMU, gudang dan lantai jemur, dan peralatan penunjang sebesar 25 %; dan (5) Kenaikan aset dan
volume usaha koperasi sebesar 10 %. Skenario-skenario di atas disusun berdasarkan peubah-peubah indicator kebijakan yang signifikan mempengaruhi model pada masing-masing propinsi dan memiliki respon kuat. Pada keseluruhan model, peubah-peubah tersebut adalah harga pupuk tingkat petani, harga gabah, penggunaan pupuk petani, jumlah pembelian gabah koperasi, kapasitas RMU, gudang dan lantai jemur koperasi dan peralatan penunjang, serta aset dan volume usaha koperasi. Skenario kapasitas RMU, gudang dan lantai jemur dan peralatan penunjang koperasi dimaksudkan untuk menunjang pengembangan sistem bank padi yang sedang dijalankan koperasi. Hasil simulasi skenario kenaikan harga pupuk dan harga gabah pada Propinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Tengah memberikan dampak yang relatif sama. Kenaikan harga pupuk 5 % diikuti kenaikan harga gabah 10 % berdampak meningkatkan peubahpeubah petani dan kinerja koperasi tetapi menurunkan pembelian gabah, produksi beras dan kapasitas produksi beras koperasi. Sementara pada Propinsi Sumatera Barat, Jawa Timur, Bali dan NTB, kenaikan harga pupuk dan kenaikan harga gabah memberikan dampak negative kepada para petani. Pada dasarnya di Propinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Tengah harga pupuk dan harga
gabah dapat dinaikan. Sementara pada keempat propinsi lainnya kenaikan harga gabah menguntungkan bagi petani, tetapi kenaikan harga pupuk sebesar 5 % saja sudah merugikan petani. Skenario kenaikan penggunaan pupuk oleh petani sebesar 25 % diikuti harga gabah dan pembelian gabah oleh koperasi sebesar 10 % ketiganya berdampak positif secara umum pada semua peubah model. Karena itu skenario ini potensial untuk diterapkan. Sebaliknya skenarioyang berlawanan yakni penurunan terhadap penggunaan pupuk dan harga gabah memberikan dampak serius menurunkan produksi gabah dan pendapatan para petani serta kinerja koperasi. Skenario ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa berbagai sebab dan alasan bahkan kebijakan yang diambil pemerintah yang menyebabkan penurunan penggunaan pupuk pada petani, pada dasarnya merugikan para petani. Infokop Nomor 28 Tahun XXII, 2006 Skenario peningkatan kapasitas prasarana dan sarana produksi beras koperasi dimaksudkan untuk mengoperasikan kembali prasarana dan sarana koperasi yang telah menganggur akibat kebijakan pupuk dan beras yang telah dijalankan. Skenario tersebut sekaligus meningkatkan kemampuan koperasi dalam penanganan pengadaan pangan. Skenario ini juga dimaksudkan untuk mendukung sistem bank padi yang sedang dijalankan koperasi. Jika kapasitas RMU koperasi yang ada sekarang ditingkatkan, juga gudang dan lantai jemur dan peralatan pendukung lainnya diperluas maka menjamin peningkatan pembelian gabah, produksi dan kapasitas produksi beras koperasi. Juga skenario ini memberikan dampak positif pada kinerja koperasi. Jika kemudian dilanjutkan dengan kebijakan untuk mendorong peningkatan nilai asset dan volume usaha koperasi maka akan memberikan hasil yang cukup besar bagi peningkatan kinerja koperasi. Untuk pengembangan sistem bank padi ke depan maka gabungan beberapa skenario alternatif di atas merupakan kesatuan kebijakan yang penting. Gabungan skenario kebijakan peningkatan penggunaan pupuk petani secara langsung, kebijakan menaikan harga gabah, pemberian kredit atau modal kepada koperasi untuk pembelian gabah dan kenaikan kapasitas prasarana dan sarana produksi beras koperasi serta kebijakan mendorong kenaikan aset dan volume usaha koperasi adalah kesatuan kebijakan yang menunjang pengembangan system bank padi. Lebih dari itu, kebijakan alternatif tersebut secara bersama-sama akan menjamin produksi dan pendapatan para petani maupun produksi beras yang dihasilkan koperasi.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil kaji ulang peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan dengan fokus pada masalah distribusi pupuk dan pengadaan pagan/beras pada tujuh daerah survei masingmasing Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah, diambil kesimpulan sesuai tujuan penelitian seperti di bawah ini. Kesimpulan tentang efektif tidaknya  kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras yang telah dijalankan pemerintah adalah sebagai berikut : 1. Kebijakan distribusi pupuk saat ini telah memberikan dampak yang positif yakni efektif pada penyaluran pupuk level propinsi hingga ke kabupaten. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi menunjukkan distribusi pupuk dari level propinsi hingga ke kabupaten pada semua propinsi sampel relatif berlangsung normal. Namun pada level pengecer, muncul berbagai kegagalan antara lain pupuk langka di pasar ketika petani membutuhkannya dan harga riil pupuk di pasar secara umum berada di atas HET. 2. Hasil analisis faktor yang mempengaruhi menunjukkan terdapat kecenderungan para distributor dan pengecer pupuk terutama pengecer swasta menggunakan signal harga sebagai indikator dalam menyalurkan pupuk ke petani. Pada hal pupuk adalah komoditi publik yang disubsidi pemerintah guna meningkatkan produksi pangan petani dalam rangka pengamanan pangan nasional. Secara tegas perilaku seperti ini bertentangan dengan jiwa kebijakan distribusi pupuk pemerintah. 3. Hasil analisis faktor yang mempengaruhi juga menunjukkan unitunit koperasi yang telah menjalankan usaha pengadaan pangan pada waktu lalu mengalami kemundurun signifikan. Unit-unit koperasi pada 4 dari 7 propinsi sampel penelitian mengalami penurunan kapasitas produksi atau mereka beroperasi di bawah kapasitas terpasang. Jika semula unit-unit koperasi yang telah menjalankan usaha-usaha pengadaan pangan/beras adalah bahagian dari total kapasitas terpasang produksi pangan nasional maka penurunan kapasitas koperasi karena perubahan kebijakan sekarang telah berdampak menurunkan kapasitas produksi pangan (gabah/beras) nasional. 4. Hasil-hasil simulasi dua scenario pada Tabel 1 dan 2 menunjukkan, dampak yang ditimbulkan akibat kebijakan pemerintah melepaskan distribusi pupuk dan pengadaan beras ke pasar adalah secara umum menekan penggunaan pupuk petani. Akibatnya produksi gabah dan pendapatan petani menurun, yang selanjutnya menurunkan produksi beras dan juga kapasitas produksi beras koperasi, dan menurunkan kinerja usaha-usaha koperasi. 5. Kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras yang sedang dijalankan sekarang tidak efektif menciptakan kemampuan produksi pangan (beras) dalam negeri. adalah peningkatan penggunaan pupuk secara langsung pada petani (25 %), peningkatan harga gabah 10 %, peningkatan kredit atau modal kepada koperasi untuk pembelian gabah 10 %, peningkatan kapasitas prasarana dan sarana produksi beras koperasi 25 % serta peningkatan kenaikan aset dan volume usaha koperasi 10 %

Daftar Pustaka
Dewan Ketahanan Pangan. 2002. Kebijakan Umum Pemantapan Pangan Nasional. Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2006. Ekspor Ilegal Pupuk Bersubsidi. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakart
Donald Ary, L. Ch. Yacobs and Razavich. 1979. Introduction in Research Education 2nd Editon. Hott Rinehart and Winston, Sydney.
Earl R. Babie. Survey Research Methods. 1973. Belmont, Wadsworth Publication Co., California.
Frank Ellis, 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press. Cambridge.
Intriligator. M, Bodkin. R, Hsiao. C. 1996. Econometric Models, Techniques, and Applications. Second Edition. Prentice-Hall International, Inc. USA.
Just.R.E, Hueth.D.L, and Schmit. A. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy. Prentice-Hall, Inc., USA.
Kariyasa K. dan Yusdja Y. 2005. Evaluasi Kebijakan Sistem Distribusi Pupuk Urea di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Kementerian Koperasi dan UMK, 2005. Konsep Usulan Proposal Penyempurnaan Tataniaga Pupuk Bersubsidi. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI, Jakarta.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometic Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London.
Media Industri dan Perdagangan, 2006. Pupuk, Komoditas Strategis yang Harus Diamankan. Media Industri dan Perdagangan, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Tags

Blog Archive